MAKALAH PAJAK PENGHASILAN



MAKALAH PAJAK PENGHASILAN




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran(cash disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkanPada hakekatnya perpajakan di Indonesia di tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan ini merupakan suatu realita negara yang merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama ketika negara Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan negara lain.
Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor pajak.” Pernyataan ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut : “segala pajak dipungut berdasarkan undang-undang demi kepentingan negara dan ditunjukan kesejahteraan rakyat”.
Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat akan kewajiban pajaknya karena pajak yang dikumpul digunakan untuk kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.
Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang berlaku di berbagai negara. Tiap negara membuat aturan dan dalam mengenakkan dan memungut pajak di negaranya. Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar perannya dalam mengamankan anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun waktu yang relatif panjang pada awal dekade 1980-an. Fluktuasi harga tersebut telah membuat struktur penerimaan negara yang saat itu sangat mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas (migas) tidak bisa diandalkan lagi untuk kesinambungannya. Dari aspek budgeting, bila penerimaan andalan dari migas tetap di pertahankan, maka akan merusak tatanan atau struktur penerimaan negara di APBN. Akibatnya, pembangunan nasional yang telah dilaksanakan dan diprogramkan diberbagai bidang, dan membutuhkan biaya saat itu, bisa saja tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana (program pembangunan).
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan pajak sangat penting dan mempunyai kedudukan yang strategis. Tidak mungkin pemerintah dapat mengerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya dukungan dana, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak. Oleh sebab itu setiap tahun penerimaan pajak senantiasa diupayakan untuk terus meningkat. Ada tiga unsur yang menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan yang tepat, kepatuhan serta kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan yang cakap dan bersih.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala yang saat itu pemberiannya sukarela dari rakyat kepada rajanya. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
B.     Sejarah Pajak Penghasilan
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (on dememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.

C.    Ketentuan
1.      Subyek pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
     a.       Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b.
      Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
c.
       Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
·         pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·         pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
·         penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
·         pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
     d.      Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

D.    Pajak Pengahasilan
Menurut Waluyo (2006) : “pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.”Menurut ketentuan pajak, pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif yang penting.  Dalam pajak penghasilan tarifnya dapat dibedakan menjadi beberapa tarif,sebagai berikut :
1)      Tarif marginal
Persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh , tarif pajak penghasilan untuk tahun 2009 bagi wajib pajak orang (perhatikan contoh tarif progresif) bahwa tarif marginal untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak yang melebihi 0 sampai dengan Rp.50.000.000,00 sebesar 5% yang diikuti pula setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp.50.000.000,00 sampai dengan tarif marginal 15% dan seterusnya.
2)      Tarif efektif
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu. 

1.      Kutipan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan
a.      Yang termasuk subjek pajak penghasilan 
             1)      Orang pribadi
Adalah mereka yang tinggal atau (berdomisili) atau berada di Indonesia ataupun diluar indonesia tanpa melihat batas umur, jenjang sosial ekonomi dan kebangsaan dan kewarganegaraannya.
2)      Warisan
Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak warisan merupakan subjek pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
3)      Badan
Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
4)      Bentuk usaha tetap (BUT)
Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia. Subjek pajak dapat pula dibedakan yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak membuat SPT sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat SPT.

b.      Termasuk objek pajak penghasilan
Yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat di pakai untuk dikonsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
1.      Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam undang-undang PPh.
2.      Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.      Laba usaha.
4.      Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta :
-          Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
-          Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
-          Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha.
-          Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yg ditetapkan oleh menteri keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
5.      Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6.      Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7.      Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8.      Royalti.
9.      Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.  Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala contoh leasing.
11.  Keuntungan karena pembebasan utang kecuali yang diatur pada PP 130 Tahun 2000 (atas keuntungan karena pembebasan utang debitur kecil termasuk Kukesra, KUT, KPRSS, KUK dan kredit kecil dan hanya dapat dinikmati satu kali dalam satu tahun pajak sampai dengan jumlah Rp 350 Juta).
12.  Keuntungan karena selisih kurs dengan mata uang asing.
13.  Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.  Premi Asuransi.
15.  Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16.  Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

E.     Bukan Subyek Pajak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
      a.       Badan perwakilan negara asing.
b.
      Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c.
       Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
d.
      Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.


F.     Obyek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.



Related Posts :

0 Response to "MAKALAH PAJAK PENGHASILAN"

Post a Comment