PENGERTIAN
POLITIK LOKAL DAN SEJARAH POLITIK LOKAL
A. PENGERTIAN POLITIK LOKAL
Politik
lokal merupakan semua kegiatan politik yang berada pada level lokal, dalam hal
ini diantaranya kota, kabupaten dan desa. Politik lokal berkaitan dengan
politik seperti halnya pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun
pemilihan kepala daerah. Dalam politik lokal, pemerintah nasional tidak
dapat berperan secara penuh, karena politik lokal cakupannya berada di bawah
tingkat nasional. Hal ini terjadi karena dalam setiap tatanan lokal sudah
memiliki peraturan dan kebijakan daerah masing-masing.
Politik lokal dapat diartikan sebagai pasar lokal
yang menyediakan pelayanan publik, pemerintahan lokal juga dianggap
sebagai penyedia layanan yang baik bagi masyarakatnya karena lebih dapat
mengerti kebutuhan rakyatnya. Politik lokal lebih memperhatikan hak-hak rakyat
kecil, karena politik lokal menggunakan pendekatan grass-root sehingga rakyat
kecil menjadi sebuah prioritas.
A.
SEJARAH POLITIK LOKAL
1.
SEJARAH POLITIK
LOKAL DUNIA
Sejarah dan masa depan
demokratisasi daerah di berbagai belahan dunia selalu berkaitan. Proses sejarah berliku di negara-negara Eropa
Barat menuju demokrasi ternyata bersumber dari politik lokal kaum aristoktrat,
para tuan tanah, yang berjuang melawan kesewenang-wenangan kekuasaan mutlak
raja mereka. Negara-negara lainnya,
seperti Eropa Timur pasca perang dunia II memproklamirkan diri menjadi negara
demokratis. menyusul upaya pemisahan negara-negara bagian dengan memerdekakan
dirinya sendiri (negara-negara Balkan, negara bagian Uni Soviet, dan
sebagainya). Artinya sejarah perkembangan demokratisasi di negara-negara yang
diklaim sebagai sumber lahirnya demokrasi berpangkal dari politik lokal.
Tidak berbeda jauh dengan
sejarah demokratisasi masyarakat barat, negara berkembang yang bergulat
memperjuangkan diri lepas dari cengkeraman penjajah kolonial seperti Spanyol,
Portugal, Inggris, Perancis, dan Belanda di negara-negara semenanjung Iberia (Amerika
Selatan), selalu penuh dengan gejolak politik lokal mempertentangkan antara
kekuasaan kapitalis milik para latifundista
(tuan tanah) dengan kaum sosialis revolusioner berjuang atas nama rakyat. Sedangkan di negara-negara di Afrika, dan
Asia Timur, perjalanan menuju demokrasi masyarakat merekapun penuh dengan
perjuangan kelompok-kelompok etnis memperebutkan sumber-sumber penghidupan yang
tersebar luas di wilayahnya.
2.
SEJARAH POLITIK
LOKAL INDONESIA
Di Indonesia, sejarah
politik lokal hampir setua umur penjajahan kolonial, desentralisasi kekuasaan,
dan administrasi pemerintahan itu sendiri.
Bahkan apabila kita menelusuri jauh ke belakang, ke jaman kerajaan yang
pernah berdiri dengan megahnya seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan
politik lokal untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal dapat dikatakan
bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan karakter bangsa dan negara
sampai detik tulisan ini dibuat.
Sejarah politik lokal Indonesia terbagi dalam beberapa tahapan masa, yaitu:
penjajahan kolonial Belanda; penjajahan kolonial Jepang; pasca kemerdekaan
tahun 1945; Republik Indonesia Serikat tahun 1948-1949; Demokrasi Parlementer;
Demokrasi Terpimpin; Orde Baru; dan Pasca Orde Baru. Peristiwa-peristiwa
bersejarah menandai hadirnya politik lokal di Indonesia akan diuraikan pada
bagian berikut ini.
a. Masa
Penjajahan Kolonial Belanda
Di awal
masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan
aturan hukum berupa Reglement op het
Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat
konservatif. Aturan tersebut menjelaskan
tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping
menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada
wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau
Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan berubah menjadi Residentie, Afdeeling, District, dan Onder-district, merupakan pertanda
adanya bentuk perwakilan kewenangan pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di
daerah jajahannya.
Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru
di bumi Indonesia, karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di tahun 1903
para elit Eropa di Hindia Belanda diberikan wewenang mendirikan pemerintahan
sendiri, namun secara terbatas.
Pada
tahun 1922, terbit Undang-undang tentang desentralisasi, menjadi dasar lahirnya
provinsi-provinsi baru dengan otonomi administratif cukup besar. Namun demikian Sutherland (1979)[1]
mengatakan bahwa pada saat itu, pembentukan negara Indonesia sama sekali bukan
ditujukan untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan hanya untuk memelihara
struktur penguasa penjajah Belanda saja melalui tangan-tangan pamong praja yang sangat mengabdi bagi
kepentingan penjajah. Oleh karena itu,
pemberian otonomi tersebut bukanlah ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan
demokratisasi lokal, namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian kewenangan otonomi administratif
hanya menimbulkan kekacauan belaka akibat semakin tajam perbedaan antara kaum
aristokrat kolonial dengan pribumi dalam mengatur pemerintahan. Pada tahun 1931, pemberontakan kekuatan
komunis di Jawa Barat dan Sumatera Barat memaksa penjajah kolonial menarik
kembali kewenangan otonomi lokal ke sentral (sentralisasi).
Ciri dari sistem pemerintah kolonial
sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut:
1.
pemerintahan
tidak langsung,
2.
pemberlakukan
aturan double standart, hukum eropa
konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi,
3.
berkembangnya
elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah
kolonial di luar pulau Jawa,
4.
isolasi
gerakan nasionalis,
5.
pengendalian
ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional
patuh pada kekuasaan kolonial.
b. Masa
Penjajahan Kolonial Jepang
Pada masa pendudukan kolonial Jepang, daerah bekas
jajahan Belanda terbagi menjadi tiga komando, yaitu:
1.
Sumatera
di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV di Bukittinggi;
2.
Jawa
dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI di Jakarta;
3.
Daerah
lain di bawah Komando Panglima Angkatan Laut di Makassar.
Selanjutnya,
pola pemerintahan pada masa setelah tahun 1943, kekuasaan sentralistis
dipulihkan kembali, dengan kekuasaan berada pada Gubernur Jenderal atau disebut
dengan Saikosikikan. Aturan-aturan
selanjutnya tentang pemerintahan daerahpun bikinan kolonial Belanda, dibuat
sedemikian rupa sehingga daerah provinsi dan kabupaten hanyalah sebagai
boneka-boneka yang taat pada keinginan pemerintahan kolonial Jepang atau
Pemerintah Bala Tentara Jepang.[2]
Pemerintahan kolonial Jepang sepertinya tidak ingin mengambil resiko lebih
besar dengan memberikan kekuasaan dan kewenangan pada kaum pribumi mengatur
urusan di daerah masing-masing. Artinya pola pemerintahan lokal Indonesia di
masa penjajahan kolonial Jepangpun tidak jauh dari nuansa sentralistis
c.
Masa Kemerdekaan 1945
Setelah Indonesia
mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari bumi
Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali
kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih
politikpun direncanakan demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia,
karena kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai koloninya. Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda
dipaksa menunaikan tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan membantu
merancang tata administrasi pemerintahan negara Indonesia yang masih sangat
belia. Pada saatitu, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian
misi perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda
dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris, memantau perkembangan
perundingan dengan seksama.
Politik Belanda saat itu
adalah merumuskan Indonesia ke dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah
bentuk negara Federasi. Batas negara-negara bagian tersebut adalah mengikuti
batas-batas garis provinsi sehingga terciptalah pemerintahan-pemerintahan
regional bercirikan watak primordial dikuasai oleh elit penguasa daerah
berdasarkan garis keturunan raja ataupun bangsawan.
Perdebatan muncul pada
saat negosiasi antara pemerintah Belanda dan Indonesia dalam memperjuangkan
nasib kedaulatan Indonesia selanjutnya.
Para pengusung ide negara federal berargumen bahwa sistem federal
memungkinkan setiap wilayah untuk mendapatkan kesempatan untuk membangun sistem
pemerintahan yang sesuai dengan keunikan budaya dan latar belakang etnis
mereka. Pada akhirnya, perdebatan
mencapai puncak ketika Indonesia menjadi RIS yang hanya bertahan 3,5 tahun
lamanya (1946-1949).
menurut Nasution, ada 2 alasan kegagalan RIS yang memiliki 17 negara bagian
yaitu:
1. Indonesia merasa dikhianati oleh Gubernur Jenderal
Belanda Van Mook, karena pendirian negara miniatur di luar federasi: Pasundan,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau,
Bangka, Belitung, di luar kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda,
dan
2.
Tulisan
Dr. Anak Agung Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia,
berisikan mengenai 3,5 tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur Indonesia
ternyata gagal memberikan hasil memuaskan.
Konsep
politik lokal ciptaan Belanda tersebut menemui jalan buntu ketika penguasa
lokal harus berhadapan dengan elit nasonalis revolusioner yang berjuang dalam
kombinasi diplomasi dan gerilya sekaligus.
Para elit nasionalis revolusioner tersebut sangat mencurigai itikad
buruk pemerintah kerajaan Belanda untuk mengambil alih kembali kekuasaannya di
Indonesia dengan politik memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Maka di tahun 1950, negara federasi
dinyatakan bubar dan kembali menjadi negara kesatuan.
d.
Masa Demokrasi
Parlementer
Pada masa demokrasi
parlementer (1950-1959), lahirlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, dengan alasan:
1.
bahwa
berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang pokok
Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu
diperbaharui sesuai dengan bentuk Negara Kesatuan;
2.
bahwa
pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku untuk
seluruh Indonesia.[3]
Daerah otonompun terbagi
menjadi dua jenis: daerah swatantra dan daerah istimewa dengan konsep otonomi
riil yang memandang bahwa ”kenyataan kehidupan masyarakat itu penuh dinamika
dan pertumbuhan.”[4]
Namun perkembangan situasi politik Indonesia masa itu kurang menguntungkan,
perdebatan muncul di Dewan Konstituante antara tahun 1956 sampai tahun 1959
hampir membuat negara kesatuan kembali pecah. Perdebatan sangat tajam muncul di
tahun 1957 ketika semua kekuatan politik dan partai dari berbagai ideologi
politik menyatakan pendapatnya mengenai sistem negara. Sentimen tentang ide negara federasi
Indonesia rancangan Van Mook masih hangat diperdebatkan, walaupun juga ada
beberapa bagian dari sistem federal yang diterima oleh pendukung negara
kesatuan. Akan tetapi, Dewan
Konstituante kembali gagal mencapai kesepakatan, dengan partai besar seperti
PNI, PKI, dan lainnya seperti Murba, IPKI, GPPS terlibat perdebatan sengit
mematahkan argumen teoritis akan keberadaan negara federal. Partai pendukung ide negara federal seperti,
Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo ternyata harus mengalah. Pada akhirnya Negara Kesatuan disepakati
sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti:
1.
penegakan
demokrasi lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan di berbagai daerah, melawan
ketidakadilan, dan menghindari sentralisasi yang tidak seimbang, dan
2.
wilayah-wilayah
sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.
e.
Masa Demokrasi
Terpimpin
Selepas Dekrit Presiden di tahun 1959 diberlakukan, pemerintahanpun semakin
mengarah pada demokrasi terpimpin.
Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6/1959 (disempurnakan)
mengatur tentang Pemerintahan Daerah.
Dasar pemikiran undang-undang pemerintahan daerah adalah:
1. tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan
desentralisasi, dengan menjunjung paham desentralisasi teritorial;
2.
dihapuskan
dualisme pimpinan daerah.
3. Artinya, pemerintah Indonesia saat itu tetap berkomitmen
menjalankan kebijakan pelimpahan kewenangan tata pemerintahan ke
daerah-daerah.
Perkembangan selanjutnya tentang pemerintahan daerah adalah terbitnya
Undang-undang Nomor 18/1965 yang membagi habis daerah-daerah otonom di
Indonesia ke dalam tiga tingkatan:
1. Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I;
2.
Kabupaten
dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II;
3.
Kecamatan
dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
f. Masa Orde Baru
Pada masa pemerintahan
Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 5/1974
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dimana semangat sentralisasi
pemerintahan justru semakin menjadi-jadi.
Undang-undang tersebut memainkan peranan penting dalam memperluas
kekuasaan pemerintah pusat ke daerah.
Penunjukan para gubernur dengan latar belakang militer oleh Presiden
Soeharto sangatlah menguntungkan kejayaan bisnis militer mengeksploitasi sumber
daya alam yang ada di daerah. Para
kepala daerah tersebut berlindung di balik doktrin dwifungsi ABRI yang ketika
itu membenarkan peran militer aktif untuk terjun dalam pemerintahan sipil. Disamping para perwira militer menikmati
jabatan puncak di daerah-daerah, para anggota militer pangkat lebih rendah
memainkan peran mereka sebagai pelindung (backing)
pengusaha-pengusaha pusat maupun lokal, menjual jasa pengamanan yang seringkali
menimbulkan bentrokan dengan masyarakat sipil.
Di
dalam masa kekuasaan Orde Baru, etnis cina Indonesia memperoleh perlakuan
khusus, sehingga jurang ekonomi antara masyarakat keturunan etnis Cina dengan
kaum pribumi menjadi sangat tajam. Lebih
jauh lagi, masa pemerintahan Soeharto memunculkan model pembangunan daerah yang
timpang antara masyarakat di belahan Indonesia bagian Barat (Jawa dan Sumatra)
yang kaya dengan masyarakat di Indonesia bagian Timur yang melarat dan
kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur sebelum menjadi negara Timor
Leste, dan Papua). Ketimpangan tersebut menjadikan pembangunan tidak merata di
daerah pedesaan dan kemiskinan di daerah perkotaan, meningkatkan jumlah
penduduk perkotaan sangat pesat.[5] Sehingga peningkatan gejala penyakit sosial
seperti tindak kriminal, kemiskinan, dan masalah gizi dan nutrisi semakin
menyeruak. Soeharto tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga
muncul peristiwa berdarah Mei 1998 yang menurunkannya dari tampuk kepemimpinan
puncak Indonesia.
g.
Masa
Pasca Orde Baru
Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia
mencatatkan sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi
membuka peluang politik lokal mencari jalan keluar menuju kemandirian
daerah. Dapat dibayangkan semangat euphoria putra-putra daerah memindahkan
kekuasaan dari pusat ke daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk
menjadi “raja-raja” baru daerah. Tidak
sedikit daerah-daerah dengan sumber daya alam kuat berencana memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu
selain memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik,
pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur yang
berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi merdeka
sepenuhnya. Dengan demikian
Undang-undang Nomor 22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi
administratif yang sangat banyak kelemahannya.
Sejarah Singkat Politik Lokal yang ada di Indonesia
Semua
ilmu tidak lepas dengan sebuah sejarah , begitu juga dengan ilmu politik dan
juga kasus berkaitan dengan ilmu politik juga mempunyai masing-masing sejarah.
Politik lokal yang berkembang di Indonesia telah terlebih dahulu ada sebelum
terbentuknya Bangsa dan Negara ini. Seperti halnya yang ditulis oleh Prof.
Soetandyo Wignjosoebroto yang menulis tentang sentralisasi dan desentralisasi
pemerintah pra kemerdekaan yakni pada tahun 1903 sampai dengan 1945. Dalam
tulisan tersebut dijelaskan bahwa pada masa colonial telah perkembang adanya
sebuah politik lokal yang di Nusantara ditandai dengan dengan adanya
Undang-undang kolonial yang dinamakan Wet Houndende Decentralisatie van Het
Bestuur in Nederlands-Indie. Nama singkatan dari undang-undang ini adalah Decentralisatie
Wet yang digunakan sebelumnya oleh pemerintah Belanda sebagai hasil
tuntutan dari masyarakat Belanda yang pada akhirnya juga diterapkan di
Indonesia. Melalui inilah Politik lokal pada era tersebut berjalan tetapi pada
kenyataannya mengalami sebuah hambatan karena pemerintah Belanda sendiri tidak
menjalankan Undang-Undang tersebut secara fungsinya dikarenakan oleh Gubernur
Jendral yang berkuasa dan juga para birokrat yang bekerja pada waktu itu lebih
berorientasi pada sentralisme serta pemerintah Belanda tidak dapat menduplikasi
tentang desentralisasi ke Hindia Belanda pada waktu itu[.
Seusai
Indonesia dijajah oleh Belanda, Jepang yang menggantikannya dan memegang
kekuasaan pada waktu itu. Pada masa pemerintahan Jepang adalah sebuah kebalikan
dari tujuan-tujuan dan kebijakan yang dijalankan pada masa diduduki Belanda.
Seperti hanya yang berkaitan dengan politik Lokal yang berkembang. Politik
lokal pada masa Jepang lebih berjalan , dengan adanya pembagian daerah atas
karesidenan-karesidenan yang daerahnya disebut Syuu’ dan dikepalai
oleh perwira Jepang yang disebut Syutyoo.
REFERENS:
0 Response to "PENGERTIAN POLITIK LOKAL DAN SEJARAH POLITIK LOKAL"
Post a Comment