Filsafat Politik
Filsafat
politik adalah suatu pendekatan ilmu politik yang relatif abstrak sebab
berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik. Pendekatan ini mengkaji
mengapa suatu negara terbentuk, apa tujuan negara, siapa yang layak memerintah,
di mana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai, juga menyinggung masalah
moral politik. Dalam pendekatan filsafat politik dikenal empat tradisi besar
yaitu tradisi klasik, pertengahan, pencerahan, dan radikal.
A. Tradisi
Klasik (Plato dan Aristoteles)
Plato
hidup pada masa ketika negara-kota Athena menjadi rebutan dari orang-orang yang
tidak memenuhi syarat untuk memimpin. Plato mempromosikan filsafat politiknya
demi memberi arahan yang benar seputar bagaimana menyeenggarakan kehidupan
bernegara.
Bagi
Plato, kehidupan negara yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip
keadilan ditegakkan. Keadilan —menurut Plato— adalah tatanan keseluruhan
masyarakat yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil adalah masyarakat
yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masig-masing anggota
memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.
Negara,
bagi Plato, terdiri atas tiga golongan besar, yaitu
(1)
para
penjamin makanan (pekerja);
(2)
para
penjaga; dan,
(3)
para
pemimpin.
Para
pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar barang-barang kebutuhan manusia
dapat tersedia: para petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi kereta, dan
pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka harus
harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan
kedua (para penjaga) mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan umum. Untuk
itu, golongan penjaga dilarang untuk memuaskan kepentingan pribadi masing-masing.
Mereka dilarang berkeluarga, wanita dan anak dimiliki bersama, tidak boleh
punya milik pribadi, serta hidup, makan serta tidur bersama-sama. Golongan
penjaga ‘disapih’ sejak umur 2 tahun, diberi pendidikan yang materinya mengarah
pada tertib dan kebijaksanaan seperti filsafat, gimnastik, dan musik.
Golongan
ketiga (para pemimpin) dipilih di antara para penjaga, khususnya mereka yag
paling memahami filsafat (ahlinya: filosof). Dengan demikian, seorang penguasa
bagi Plato harus seorang filosof-raja. Dengan menguasai filsafat, seorang raja
akan mampu memahami melihat hakikat-hakikat rohani di belakang bayang-bayang
inderawi yang selalu berubah-ubah ini. Hal ini mungkin dilakukan oleh sebab
filsuf-raja telah melepaskan diri dari ikatan-ikat nafsu dan indera serta bebas
dari pamrih. Sebab itu dapat dikatakan ahwa sumber kekuasaan adalah PENGETAHUAN
yang dicapai melalui pendidikan.
Pemikiran
Plato mengenai politik dapat dilihat pada skema berikut :
Sarana
|
Tujuan
|
||
Para Penguasa
|
Otoritas
|
→
|
Keadilan
|
(1)
|
(2)
|
||
↑
|
↓
|
||
Rakyat
|
Pekerjaan
|
←
|
Potensialitas
|
(4)
|
(3)
|
Keterangan
:
Penguasa
menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingan umum sebagai hasil dari
kecerdasan mereka. Kepentingan umum sebaliknya, merupakan pemenuhan setiap
potensi-pontesi yang ada pada diri individu. Otoritas akan dijalankan oleh
filosof-raja yang memerintah untuk menegakkan keadilan. Keadilan diberikan
kepada rakyat untuk diselenggarakan pada pemenuhan potensi-potensi yang dicapai
melalui pekerjaan. Pekerjaan akhirnya akan menghasilkan sumber-sumber yang
perlu untuk otoritas.
Aristoteles
(384-322 sM) mempersamakan tujuan negara dengan tujuan manusia: Menciptakan
kebahagiaan (Eudaimonia). Manusia adalah makhluk sosial sekaligus zoon
politikon (makhluk politik), sebab manusia tidak dapat berbuat banyak demi
mencapai kebahagiaan tanpa bantuan orang lain. Sebab itu, manusia harus mau
berinteraksi di dalam negara (berinteraksi dengan orang lain) demi mencapai
kebahagiaan hidup sendiri dan bersama.
Dengan
demikian, tugas negara bagi Aristoteles pun jelas: Mengusahakan kebahagiaan
hidup warganegaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan
kekuasaan negara hanya kepada filosof-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya,
Aristoteles menyarankan pembetukan suatu negara bernama POLITEIA (negara yang
berkonstitusi). Pemimpin negara adalah orang yang ahli dan teruji
kepemimpinannya secara praktis, bukan filsuf yang hanay duduk di ‘menara
gading.’ Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi
Aristoteles, kekuasaan suatu negara harus berada di tangan banyak orang agar
suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi melainkan kolektif. Namun,
kekuasaan tersebut jangan berada di tangan golongan miskin atau kaya, melainkan
golongan menengah.
Artinya,
bentuk kekuasaanya berada di tengah-tengah antara oligarki dengan demokrasi.
Satu hal penting lain, seluruh penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi
Aristoteles pun, negara sama seperti organisme: Ia mampu berkembang dan mati.
Secara
sederhana, pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat pada skema
berikut ini:
Sarana
|
Tujuan
|
||
Warganegara Individual
|
Pilihan
|
←
|
Kebijaksanaan (praktis)
|
(4)
|
(3)
|
||
↓
|
↑
|
||
Polis (negara)
|
Konstitusi Campuran
|
→
|
Kebahagiaan
|
(1)
|
(2)
|
Aristoteles
menekankan pentingnya konstitusi campuran yang merupakan aturan dasar kehidupan
bernegara. Kontitusi ini harus menunjuk kebahagiaan setiap individu sebagai hal
ideal yang harus dicapai suatu negara. Kebahagiaan secara praktis diturunkan ke
dalam bentuk kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan
pilihan-pilihan baru bagi para warganegara yang nantinya diwujudkan ke dalam
bentuk konstitusi campuran.
B. Tradisi
Abad Pertengahan (Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan Martin Luther)
Santo
Agustinus (13 Nopember 354 M – 28 Agustus 430 M)
Agustinus
menulis magnum opus-nya De Civitate Dei (Kota Tuhan). Ia membagi negara ke
dalam dua substansi: Sekuler dan Surgawi. Negara sekuler (diaboli) adalah
negara yang jauh dari penyelenggaraan hukum-hukum Tuhan, sementara negara
surgawi sebaliknya. Negara Surgawi (disebut pula negara Allah) ditandai oleh
penjunjungan tinggi atas kejujuran, keadilan, keluhuran budi, serta keindahan.
Negara sekuler ditandai oleh kebohongan, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan,
penghianatan, kebobrokan moral, dan kemaksiatan. Konsepsi negara surgawi dan
diaboli dianalogikan Agustinus seperti kisah Kain dan Habel. Perilaku Kain yang
negatif mencerminkan pengumbaran hawa nafsu, sementara perilaku Habel
mencerminkan ketaatan pada Tuhan.
Santo
Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Magnum
opus Aquinas adalah “Summa Theologia.” Berbeda dengan Agustinus, Aquinas
menyatakan bahwa negara adalah sama sekali sekuler. Negara adalah alamiah sebab
tumbuh dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang hidup di dunia. Namun, kekuasaan
untuk menjalankan negara itulah justru yang berasal dari Hukum Tuhan (Divine
Law). Sebab itu, kekuasaan harus diperguakan sebaik-baiknya dengan
memperhatikan hukum Tuhan.
Penguasa
harus ditaati selama ia mengusahakan terselanggaranya keptingan umum. Jika
penguasa mulai melenceng, rakyat berhat untuk mengkritik bahkan
menggulingkannya. Namun, Aquinas menyarakankan “Jangan melawan penguasa yang
tiran, kecuali sungguh-sungguh ada seseorang yang mampu menjamin stabilitas
setelah si penguasa tiran tersebut digulingkan.”
Martin
Luther (1484-1546 M)
Tahun 1517
memberontak terhadap kekuasaan gereja Roma. Sebab-sebab pemberontakannya adalah
mulai korupnya kekuasaan Bapa-Bapa gereja, isalnya mengkomersilkan surat
pengampunan dosa (surat Indulgencia). Luther juga meulai prithatin akan gejala
takhayulisme dan mitologisasi patung-patung orang-orang suci gereja.
Keprihatinan lain Luther adalah anggapan suci yang berlebihan atas para pemuka
agama, sebab sesungguhnya mereka pun manusia biasa.
Sebab itu,
berbeda dengan pemikiran Katolik pertengahan, Luther menyarakan pemisahan
kekuasaan gereja (agama) dengan kekuasaan negara (sekuler). Luther menuntut
Paus agar mengakui kekuasaan para raja dengan tidak mengintervensi
penyelenggaraan kekuasaan dengan dalih-dalih penafsiran kitab suci. Akhirnya,
gereja harus ditempatkan di bawah pengawasan negara. Penyembahan Tuhan lalu
dijadikan penghayatan oleh subyek bukan terlembaga seperti gereja Katolik.
Secara
umum, pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther berada dalam konsep umum
teokrasi (pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan). Secara
sederhana, dapat dirangkum ke dalam bagan berikut :
Sarana
|
Tujuan
|
||
Yang Mengatur
|
Negara Manusia (akal)
|
←
|
Masyarakat Baik Sebagai Kota Tuhan
(wahyu)
|
(2)
|
(1)
|
||
↓
|
↑
|
||
Yang Diatur
|
Kepatuhan Pada Hukum Positif
|
→
|
Kejayaan (Grace)
|
(3)
|
(4)
|
Keterangan
:
Wahyu
turun dari Tuhan. Dari wahyu muncul nalar, dan dari nalar tampil hukum alam.
Dari hukum alam maka lahir hukum praktis yang mengatur harta benda, warisan,
dinas militer, dan kewajiban-kewajiban lain. Hukum praktis ini dibuat oleg
rakyat dan disebut hukum positif, yaitu hukum yang menunjukkan apa apa yang
harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Hukum ini dimaksudkan demi
menciptakan kejayaan (grace).
C. Tradisi
Pencerahan (kembali ke persoalan duniawi)
Niccolo
Machiavelli (1469-1527 M).
Dalam
magnum opus-nya “Il Principe” (sang pangeran), Machiavelli menandaskan bahwa
kekuasaan merupakan awal dari terbentuknya negara. Negara adalah simbol
kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Berbeda
dengan pemikiran Agustinus, Aquinas, dan Luther, bagi Machiavelli kekuasaan ada
di dalam dirinya sendiri, mutlak, bukan berasal dari Tuhan atau doktrin agama
manapun. Justru, agama, moral bahkan Tuhan, dijadikan alat untuk memperoleh
kekuasaan oleh para penguasa.
Il
Principe menceritakan soal apa yang seharusnya dilakukan seorang raja untuk
mempertahankan atau menambah kekuasaannya. Raja harus licik sekaligus jujur.
Tujuan seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan untuk itu, ia harus
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat secara umum agar si penguasa tersebut
semakin dicintai dan didukung rakyat agar terus berkuasa.
Thomas
Hobbes (1588-1679 M).
Magnum
opus-nya Thomas Hobbes adalah “Leviathan.” Bagi Hobbes, manusia adalah serigala
bagi sesamanya (homo homini lupus), sebab manusia secara mendasar memiliki
naluri-naluri ‘buas’ di dalam dirinya. Situasi dalam masyarakat sebelum adanya
negara adalah Bellum Omnium Contra Omnes (perang semua lawan semua). Untuk
mengatasi situasi perang tersebut perlu dibentuk negara guna menciptakan
stabilitas dan kedamaian.
Hobbes
berbeda dengan Aristoteles sebab memperbolehkan pemerintahan tanpa konstitusi.
Bagaimana raja terjaga dari kemungkinan penyelewengan kekuasaan? Hobbes
menjawa: “Tidak mungkin sebab raja dituntun oleh hukum moral di alam dirinya!”
John
Locke (1632-1704 M)
Magnum
opusnya John Locke “Two Treatises of Government.” Menurut Locke, manusia pada
dasarnya adalah baik, tetapi ia berangsur-angsur memburuk perilakunya karena
menjaga harta milik dari jarahan individu lain. Sebab itu, negara dibutuhkan
untuk menjamin hak milik pribadi.
Namun,
negara yang dibentuk harus berdasarkan konstitusi dan kekuasaan yang ada harus
dibeda-bedakan. Locke berbeda dengan Hobbes, bahwa kekuasaan seorang raja harus
dibatasi. Dan tidak hanya itu, Locke menyarankan adanya 3 bentuk kekuasaan yang
terpisah, yaitu :
- Legislatif (pembuat UU)
- Eksekutif (pelaksana UU)
- Federatif (hubungan dengan luar negeri) —- sementara dipegang eksekutif.
Locke
menyarankan diselenggarakannya demokrasi perwakilan, di mana wakil-wakil rakyat
yang membuat undang-udang. Namun, “rakyat” yag diwakili tersebut adalah
laki-laki, dan berasal dari kelas borjuis.
Montesquieu
(1689-1755 M).
Magnum
opus dari Montesquieu adalah “The Spirit of the Laws.” Buku ini terdiri atas 31
buku yang dibagi ke dalam 6 bagian, dengan rincian berikut :
(1)
Hukum
secara umum dan bentuk-bentuk pemerintahan
(2)
Pengaturan
militer dan pajak
(3)
Ketergantugan
adat kebiasaan atas iklim dan kondisi alam suatu wilayah
(4)
Perekonomian.
(5)
Agama
(6)
Uraian
tentang hukum Romawi, Perancis, dan Feodalisme.
Untuk
menjamin kebebasan warganegara, Montesquieu merasa perlu untuk memisahkan tiga
jenis kekuasaan, yaitu Legislatif (membuat UU), Eksekutif (melaksanakan UU),
dan Yudikatif (mengawasi pembuatan dan pelaksanaan UU).
Jean
Jacques Rousseau (1712-1778 M).
Magnum
opus Rousseau adalah “The Social Contract.” Dalam karya tersebut, Rousseau
menyebutkan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial. Artinya, individu-individu
dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan
kekuasaan yang dimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama
ini kemudian dinamakan Negara.
Negara
berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat. Kedaulatan tersebut akan tetap
absah selama negara tetap menjalankan fungsi sesuai kehendak rakyat. Dalam
menjalankan hidup keseharian negara, Rousseau tidak menghendaki demokrasi
perwakilan melainkan lagsung. Artinya, setiap masyarakat tidak mewakilkan kepentinga
politiknya pada seseorang atau sekelompok orang, tetapi sendiri melakukannya di
kehidupan publik. Masing-masing rakyat datang ke pertemuan umum dan
menegosiasikan kepentingannya dengan individu lain.
Secara
umum, pendekatan filsafat politik tradisi pencerahan dapat dilihat pada bagan
berikut :
Sarana
|
Tujuan
|
||
Para Penguasa
|
Kekuasaan
|
→
|
Stabilitas dan Ketertiban
|
(3)
|
(4)
|
||
↑
|
↓
|
||
Yang Dikuasai
|
Dukungan
|
←
|
Hak-Hak
|
(2)
|
(1)
|
Keterangan
:
Hal paling
penting dalam tradisi pencerahan adalah hak-hak individu manusia (bukan Tuhan
atau masyarakat). Untuk menjamin terselenggaranya hak tersebut, mereka memberi
dukungan pada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur mereka. Dukungan
melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan demi menjaga stabilitas dan ketertiban agar
setiap individu mampu menikmati hak-hak mereka dengan rasa aman.
D. Tradisi
Modern
Georg
Wilhelm Friedrich Hegel
Magnum
Opus-nya : “The Phenomenology of Mind.” Menurut Hegel ada satu kekuatan absolut
yang sedang bekerja di dunia ini. Kekuatan tersebut ia sebut Ide Mutlak. Ide
mutlak bergerak dalam sejarah dan bentuk yang paling sempurna adalah negara.
Negara berasal dari gerak dialektis (pertentangan) di tengah masyarakat.
Pertentangan mengalami penyelesaian melalui media terbentuk dan terselenggaranya
negara. Dengan demikian, negara adalah bentuk tertinggi pengorganisasian
manusia dan ia mengatasi kepentingan-kepentingan individu. Kepentingan negara
harus didahulukan ketimbang yang terakhir.
Karl
Heinrich Marx
Magnum
opus-nya Manifesto Komunis (bersama Friedrich Engels). Marx (murid Hegel)
menentang gurunya . Ia menyatakan bahwa negara cuma sekadar alat dari kelas
‘kaya’ ekonomis untuk mengisap kelas ‘miskin’ (proletar). Dengan adanya negara,
penindasan kelas pertama atas yang kedua berlanjut. Penindasan hanya dapat
dihentikan jika negara dihapuskan. Pengahapusan negara melalui revolusi
proletariat.
John
Stuart Mill
Magum
opusnya “On Liberty.” Mill amat menjunjung tinggi kehidupan politik yang
negosiatif. Baginya, negara muncul hanya sebagai instrumen untuk menjamin
kebebasan individu. Bagi Mill, hal yang harus diperbuat negara adalah
menciptakan Greatest Happines for Greates Number (kebahagian terbesar untuk
jumlah yang terbesar). Bagi Mill, dengan demikian, prinsip mayoritas harus
dijunjung tinggi dalam suatu negara. Baginya, yang ‘banyak’ harus didahulukan
ketimbang yang sedikit.
Pendekatan
Institusional
Pendekatan
filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan
berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan
diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan
lembaga-lembaga untukmengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan.
Kekuasaan
(asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi.
Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan.
Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab
para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan
umum.
Dalam
konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem
pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal adalah
negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa
negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan
pemerintah pusat disentralisir.
Badan
pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh
eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat
lewat pemilihan umum.
Badan
eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara
di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih
perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil
dipilih secara prerogatif oleh presiden.
Badan Yudikatif
melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun
eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi
persengketaan antara legislatif versus eksekutif.
Lembaga
asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan
antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di
samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu
mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan.
Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus
dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen.
Dalam
menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia
terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan
publik.
Pendekatan
Behavioral
Jika
pendekatan Institusionalisme meneliti lembaga-lembaga negara (abstrak),
pendekatan behavioralisme khusus membahas tingkah laku politik individu.
Behavioralisme menganggap individu manusia sebagai unit dasar politik (bukan
lembaga, seperti pendekatan Institusionalisme). Mengapa satu individu
berperilaku politik tertentu serta apa yang mendorong mereka, merupakan
pertanyaan dasar dari behavioralisme.
Misalnya,
behavioralisme meneliti motivasi apa yang membuat satu individu ikut dalam
demonstrasi, apakan individu tertentu bertoleransi terhadap pandangan politik
berbeda, atau mengapa si A atau si B ikut dalam partai X bukan partai Y?
Pendekatan
Plural
Pendekatan
ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan
pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright
Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok
tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963
menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal.
Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar
kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills)
Pendekatan
Struktural
Penekanan
utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di
sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat,
buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada
zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh
pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal
yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab,
India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan
demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan
dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh
lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan
yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan,
melainkan kaum kapitalis yang ‘mendadak’ kaya akibat revolusi industri. Kelas
kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur
masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat
dari struktur kelas ini.
Pendekatan
Developmental
Pendekatan
ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II.
Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang
dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini
diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada
tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan
media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi.
Karya
klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam “Political Order
in Changing Society” pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel
Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan
demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington,
jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik
rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera
dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik
seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias
ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka
sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja
miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui
penelitiannya dalam buku “Capitalism and Underdevelopment in Latin America.
Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara ‘dunia ketiga’ adalah akibat
:
-
modal
asing
-
perilaku
pemerintah lokal yang korup
-
kaum
borjuis negara satelit yang ‘manja’ pada pemerintahnya
Frank menyarankan agar negara-negara
‘dunia ketiga’ memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat).
Referensi
[Skema dikutip dari J.H. Rapar,
Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
[Skema
dikutip dari J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus,
Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.]
- Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).
- Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).
- Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction, Fifth Edition, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1994).
- Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000). Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996).
- Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981).
- Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997).
- Footnote:
- [1] Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, cet.5, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2-3.
- [2] Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), p.7.
- [3] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1997), h.29.
- [4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.293.
- [5] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..57
- [6] Didasarkan atas Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit., p.103.
- [7] Bidang-bidang ini merujuk pada Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, op.cit.. Seluruh bab.
- [8] Terapan keenam pendekatan ini mengacu kepada David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985).
- [9] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 187-8.
- [10] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h.158-184.
- [11] Mengacu pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Graedia, 2001).
- [12] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory Part 2: From Machiavelli to Burke, (Pomona: Harcourt race Jovanovich, 1968), p.194-207. Bahasan yang cukup populer (berupa cerita gambar) dapat dilihat dalam Pax Benedanto, Politik Kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli : Il Principe, (Jakarta: Gramedia, 1999). Seluruh buku.
- [13] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, (Semarang: ISEA, 2002). Seluruh buku.
- [14] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.245.
- [15] S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 94-102
- [16] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h.465-467. Lihat juga Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
- [17] Robert A. Dahl. (ed.), Regimes and Oppositions., (Yale University Press, 1974). Bab pendahuluan.
- [18] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.358.
- [19] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p.195-6.
- [20] Samuel P. Huntington. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. p.5.
- [21] Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm, (Boulder, Colorado: Westview Press, 1981), p..290-1.
0 Response to "Filsafat Politik"
Post a Comment