Kebijakan Pemerintah dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan dan Penanggulangan Kerusakan Kawasan Mangrove



Kebijakan Pemerintah dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan dan Penanggulangan Kerusakan Kawasan Mangrove

1.      Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia
Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
b. Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawsan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat).
c. Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa penggunaan dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi-penghijauan dan sebesar 60% dikelola Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove.
Hingga saat ini Departemen Kehutanan telah mengkoordinasi dengan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.
d. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Di dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan).
Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi Mangrove di Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai – Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat – Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber. 
Pokok – Pokok Kegiatan Mangrove
Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Operasional Teknis
Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT (sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.
2.    Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
3.    Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)
4.    Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove
5.    Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten
2.      Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan (Fauziah, 1999).
Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).
Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang telah terjadi dalam beberapa dekade ini dilakukan atas perintah dari atas. Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya komando atau rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan termasuk masyarakat sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down (lihat gambar 1).
Menurut Amir (dalam Sudarmadji, 2001), bahwa pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat pesisir. Padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja sudah dapat ditebak hasil akhirnya.
Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (tidak tumbuh sense of belonging) hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove hasil rehabilitasi tersebut secara leluasa. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999).




 











Gambar 1. Top-down approach, tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat

Semestinya upaya rehabilitasi atas biaya pemerintah tersebut semuanya dipercayakan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain.
Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat.
Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain. Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai-ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom-up (lihat gambar 2).
Menurut Sumarhani (dalam Sudarmadji, 2001), bahwa dalam pelaksanaan Otoda (otonomi daerah) dewasa ini seharusnya semua kegiatan rehabilitasi hutan mangrove hendaknya diserahkan pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mengembangkan partsipasinya terhadap berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kehidupan mereka. Keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih banyak lagi lainnya.
Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam (Subing, 1995).

Di samping itu, hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya seperti diuraikan di atas keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.



 









Gambar 2. Bottom-up approach, ada partisipasi
aktif dari masyarakat

Sudah dapat dibedakan bahwa pada kegiatan proyek yang menggunakan pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up akan mendapatkan hasil yang lebih baik, karena adanya unsur partisipasi masyarakat (Amir, dkk., 1995 dalam Sudarmadji, 2001). Hasil dari kegiatan dengan menggunakan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk memotong kayu atau hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama.
Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan rehabilitasi hutan mangrove di era pelaksanaan otoda dewasa ini. Kecuali itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan rehabilitasi tersebut, dan di dalam masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).




Thanks for referensi:
a)      Arief, Arifin. 2007. Hutan Mangrove. Yogyakarta: Kanisius

b)      Fauziah, Y. 1999. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang Bengkalis, Riau Ditinjau dari Vegetasi Strata Semai. Dalam Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove di Pekanbaru, 15-18 September 1998.

c)      Kasim, Ma’ruf. 2008. Mengenal Pola Rehabilitasi Mangrove Partisipative. Online, (http://www.google.com).

d)     Noor, dkk. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA/WI-IP.


f)       Savitri, L.A. dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.

g)      Subing, H. Z. 1995. Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan Daerah. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994.

h)      Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi Hutan Mangrove Dengan Pendekatan pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Jurnal). Jember: FMIPA Universitas Jember

i)        The Mangrove Information Centre. Online, (http://www.mangrovecentre.or.id).

j)        Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia

0 Response to "Kebijakan Pemerintah dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan dan Penanggulangan Kerusakan Kawasan Mangrove"

Post a Comment