Mangrove adalah vegetasi khas daerah
tropika dan subtropika yang tumbuh pada tanah lumpur di dataran rendah di
daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara
sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari
genangan di saat kondisi air surut.
Permudaan mangrove dapat terjadi melalui dua cara, yaitu
secara alami dan permudaan buatan. Permudaan alami merupakan proses pertumbuhan
yang terjadi secara alami, berawal dari buah yang telah masak dan jatuh ke
substrat. Sedangkan permudaan buatan dilakukan oleh manusia (mengingat bahwa
mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui) dengan melalui
berbagai tahap-tahap. Permudaan buatan biasa juga diartikan rehabilitasi.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengadakan penanaman pada bekas areal atau kawasan
tegakan yang telah hilang atau mengalami kerusakan.
Adapun
tahap-tahap rehabilitasi partisipatif menurut Ma’ruf Kasim (2008), sebagai
berikut:
1.
Survei dan Penetapan lokasi penanaman
Kegiatan survei lapangan dapat melibatkan beberapa orang
yang mengenal dengan dekat lokasi yang akan menjadi sasaran kegiatan
penanaman. Pada kegiatan ini di lakukan upaya identifikasi jenis-jenis
mangrove yang ada, karakteristik substrat serta kondisi rill hutan
mangrove. Tipe substrat didominasi oleh tipe substrat berlumpur dan
dibeberapa tempat ditemukan substrate berpasir dan kadang bercampur cangkang
bivalvi dan gastropoda mati. Bahkan yang lebih ekstrin di Kawasan Pesisir
teluk lasongko Indonesia terdapat mangrove yang tumbuh diatas batuan cadas.
Mengingat lokasi yang akan di jadikan sasaran rehabilitasi terdapat di dalam
kawasan hutan mangrove, maka kondisi rill yang akan menjadi pertimbangan utama
adalah jenis mangrove yang sesui untuk ditanam sesuai dengan karakteristik dan
tipe subrat berlumpur, berpasir, lumpur berpasir, dan atau bercampur
kerang-kerangan mati. Karakteristik spesifik dibeberapa tempat juga
adanya aliran-aliran kecil sungai yang menjurus keteluk. Tentunya jika
ada yang kondisinya seperti ini, upaya rehabilitasi sedapatnya tidak di lakukan
pada daerah aliran sungai–sungai kecil karena hanya akan mengalami kegagalan.
2.
Persemaian dan Pembibitan Mangrove .
Pengumpulan bibit sebaiknya dilakukan oleh kelompok yang
dibentuk didesa. Jenis bibit yang akan di jadikan bibit adalah yang
dominan berada di sekitar areal rehabilitasi. Pertimbangan yang lain
adalah dengan melihat struktur tanah dan ekologi kawasan rehabilitasi. Jenis Rhizophora
mucronata adalah jenis bibit yang mempunyai toleransi yang cukup tinggi
terhadap tekanan ekologi. Untuk meningkatkan presentase kelangsungan
hidup penanaman mangrove, dilakukan upaya persemaian untuk bibit yang akan di
tanam. Persemaian di lakukan disekitar areal penanaman. Ini untuk
memudahkan akses penanaman. Upaya pembibitan dilakukan dengan memasukkan
bibit kedalam polibag dan setelah di isi didalam polibag diletakkan di dalam
areal pembibitan. Untuk menghindari terhadap gangguan babi hutan yang sering
mencari makan dan menggali makanan disekitar areal persemaian dan pembibitan,
tempat pembibitan dilindungi dengan waring yang menghalang aktivitas babi hutan
masuk kedalam areal pembibitan. Upaya
persemaian dan pembibitan dilakukan 1 – 3 bulan sebelum penanaman.
Ini dilakukan agar bibit dapat berkecambah dulu untuk
kemudian di lakukan penanaman. Upaya ini diharapkan akan meminimalisasi
kematian bibit dan meningkatkan persentase bibit yang hidup.
3.
Penanaman .
Setelah bibit mulai tumbuh didalam areal pembibitan,
dilakukan upaya penanaman pada areal rehabilitasi. Upaya ini melibatkan
seluruh anggota kelompok yang memobilisasi anggota masyarakat yang peduli
tentang pentingnya upaya rehabilitasi mangrove. Upaya penanaman dilakukan
dengan sangat hati-hati. Bibit yang telah tumbuh di areal pembibitan
dibawa ke areal penanaman. Setelah sampai pada daerah dekat tempat
penanaman, polibagnya disobek kemudian dilakukan penggalian lubang pada areal
penanaman dan dimasukkan bibit beserta tanah/lumpur kedalam lubang penanaman
mangrove. Untuk menghindari tumbangnya bibit karena tekanan arus pasang
dan atau pengaruh ombak/gelombang, tiap bibit mangrove diikat pada ajir yang
dipatok didekat mangrove. Ajir ini sengaja diletakkan di samping setiap
bibit yang ditanam mengingat tiap bibit yang akan ditanam belum terlalu kuat
untuk menopang dirinya dan atau untuk tetap berdiri karena belum mempunyai akar
yang kuat. Pada daerah yang mempunyai potensi gelombang yang cukup tinggi,
sebaiknya dilakukan pemasangan APO / APO Barlapis yang terbuat dari kayu. Bambu
dan bahkan batu dan coran semen. APO berfungsi sebagai peredam ombak
sehingga pengaruhnya tidak dapat mempengaruhi bibit mangrove.
Pola penanaman bibit mangrove dilakukan dengan jarak satu
meter antara bibit yang satu dengan yang lainnya. Penanaman bibit dilakukan
serempak dengan melibatkan seluruh anggota kelompok. Sedapat mungkin
melibatkan anak sekolah agar terjadi pembelajaran yang mendasar tentang pola
merehabilitasi kawasan mangrove yang rusak. Pelajaran yang paling berharga
dalam upaya rehabilitasi bagi pelajar jika pelibatan langsung kepada mereka.
Ini akan membekas dalam pikiran dan hati mereka untuk mengetahui pola
rehabilitasi mangrove. Dan tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan
sendiri pada kawasan yang lain sebagai bagian dari upaya kokurikuler
mereka.
Pada beberapa daerah yang sangat ekstrim dengan pola
pasang surut yang sangat lebar, sebaiknya jangan dilakukan pola penanaman yang
konvensional. Pola penanaman konvensional biasanya hanya penancapan bibit
yang dibarengai dengan pengikatan pada ajir. Namun sebaiknya menggunakan
modifikasi pada sistem persemaian. Modifikasi persemaian dapat dilakukan
pada polibag bambu dan atau pot yang didisain khusus. Bentuk polibag
dapay dilakukan dengan panajaman pada bagian bawah yang juga berfungsi sebagai
pasak untuk tiap bibit. Modifikasi juga dapat dipadu dengan pengikatan pada
ajir berlapis untuk memperkokoh dudukan bibit. Yang perlu mendapat perhatian
adalah bukan seberapa banyak bibit yang kita dapat tanam tapi seberapa banyak
bibit yang bisa bertahan hidup dengan kondisi lokasi yang kadang bersifat
ekstrim.
4.
Pemeliharaan
Pola pemeliharaan sebaiknya melibatkan seluruh anggota
kelompok dengan menjaga tiap kaplingan areal penanaman. Tiap anggota masyarakat
dipercayakan untuk menyulam tiap bibit mangrove yang kebetulan rusak atau
tercabut oleh aktivitas arus dan gelombang. Untuk mengontrol kelangsungan hidup
tiap bibit dan anakan mangrove, sebaiknya dilakukan pengontrolan setiap 3-4
hari sekali sampai pada saat bibit mangrove yang ditanam berusia 3–5 bulan.
Selanjutnya dilakukan pengontrolan seminggi sekali selama 10-12 bulan.
Setelah diatas satu tahun dapat dilakukan pengontrolan selama 1–2 kali sebulan.
Pemeliharaan mangrove adalah hal penting yang perlu dilakukan
untuk menjaga agar mangrove tetap hidup dan bertahan dengan baik.
Komplesitasnya kondisi fisik dan ekologis lingkungan serta kadang adanya hama
dan gangguan lain membuat mangrove kadang mengalami kematian walaupun umur
mangrove telah berusia diatas 8–12 bulan, namun jika dilakukan
pengontrolan yang rutin maka akan dapat meminimalisasi kegagalan yang ada.
Trik
Rehabilitasi mangrove:
1) Kenali daerah yang akan
direhabilitasi
2) Kenali faktor fisik (pasang surut,
pola arus, kecepatan arus, tipe substrat, gelombang), biologi (hama, jenis
mangrove yang dominan, ketahanan tiap bibit, penyakit buah mangrove, gulma,
epifauna) dan kimia (pH substrat, kandungan unsur hara) daerah yang akan
direhabilitasi.
3) Lakukan persemaian dengan waktu yang
dikondisikan berdasarkan jenis bibit.
4) Lakukan pemeliharaan dengan
pelibatan masyarakat setempat.
5) Tentukan pola penanaman yang sesuai
dengan bibit dan areal penanaman.
6) Sebaiknya mengambil bibit yang
bersumber pada areal terdekat.
7) Sebaiknya menanam mangrove pada
lokasi yang paling tidak pernah ditumbuhi oleh mangrove.
Thanks for referensi:
a)
Arief,
Arifin. 2007. Hutan Mangrove. Yogyakarta:
Kanisius
b)
Fauziah,
Y. 1999. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang Bengkalis, Riau
Ditinjau dari Vegetasi Strata Semai. Dalam Prosiding Seminar VI Ekosistem
Mangrove di Pekanbaru, 15-18 September 1998.
c)
Kasim,
Ma’ruf. 2008. Mengenal Pola Rehabilitasi Mangrove Partisipative. Online,
(http://www.google.com).
d)
Noor, dkk. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor:
PKA/WI-IP.
f)
Savitri,
L.A. dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.
g)
Subing,
H. Z. 1995. Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan
Daerah. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6
Agustus 1994.
h)
Sudarmadji.
2001. Rehabilitasi Hutan Mangrove Dengan Pendekatan pemberdayaan Masyarakat
Pesisir (Jurnal). Jember: FMIPA Universitas Jember
j)
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta:
Departemen Kehutanan Republik Indonesia
0 Response to "Tahap-Tahap Rehabilitasi Partisipatif Kawasan Mangrove"
Post a Comment